Biografi KH Hasyim Asy'ariSejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari  memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil  sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya  mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun  Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari  satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di  Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan,  Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan  berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,  Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai  Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15  tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain  Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban,  Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan  Pesantren Siwalan di Sidoarjo.  Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di  pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa  benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal  sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup  lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya  Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim  itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia,  yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu  puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya  berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana,  Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.  Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di  Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau,  Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim  Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal,  Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein  Al Habsyi..
|  | 
| Logo Nahdlatul Ulama | 
Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik  kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren  Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang  petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam  seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia  memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda,  besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah,  Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di  Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula  Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng  terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau  membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai  tempat tinggal.  Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim  mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak  bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8  orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus  kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka  sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.  Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai  Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai  Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah,  (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul  Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.  Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim  menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok  Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim  dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3)  Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH  Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya  memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah  murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer  dipanggil.  Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan  mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba  berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan  juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru  selama-lamanya.”  Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya.  “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan  diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu  Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak  gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai  santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya  cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului,  karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.  Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar  ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai  Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan  kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin  sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.  Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir  semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru  kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan,  Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia  pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat  kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama,  terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya  ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan  suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.  Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia,  termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba  ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di  antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama  kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri  Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH  Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri  Kyai Hasyim.  Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar  dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi  Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan  pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran  bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru  Besar) kepada Kyai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim  menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha  untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada  tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda  kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah  jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena  perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai  Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa  tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama  secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi  bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian  mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak  jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya  tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada  gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya  itu.  Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin  represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.  Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap  menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari  sasaran represif Belanda.  Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat  keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai  oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim  dengan tuduhan pembunuhan.  Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum  Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya  beliau dilepaskan dari jeratan hukum.  Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa  kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri  10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren  porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan  represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik  Tahun 1940an.  Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang  di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,  kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam.  Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan  antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh  dukungan para pemimpin Muslim.  Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus  Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai  Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan  membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai  simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa  Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh  seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau  melintas di depan tentara Jepang.  Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib  disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan  secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto,  dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak  yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam  tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah  satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.  Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di  Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan  keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai  Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim  dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan  santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai  Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi  pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.  Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil  Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan  Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa  (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama  para ulama menyerukan